Wednesday, April 26, 2006

0.
Jauh sebelum penyair tahu apakah sajak yang sedang ditulisnya akan jadi bagus atau buruk, ia telah lebih dahulu tahu apakah sajaknya jujur atau tidak. Jujur kepada dirinya, bakal pembaca, sejawat, dan para pendahulunya. Juga jujur kepada sajak itu sendiri, dalam ekspresi, teknik, dan medianya. Ia boleh tidak setia kepada realitas namun harus teguh dalam kreativitas.

1.
Sastrawan sejatinya merupakan salah satu satelit kemanusiaan. Diluncurkan untuk mengukur sejauh mana batas tata surya kodrati dan sekaligus untuk merambah wilayah kemungkinan yang belum diketahui. Dalam perjalanannya, ada yang begitu jauh melampaui orbit hingga tak pernah kembali lagi; tinggal melayang-layang dalam gelap hampa. Yang kembali, hampir hangus tubuhnya bergesekan dengan atmosfir.

2.
Dalam sejarah, ada sejumlah penyair yang mati muda, menemui ajal secara tragis, atau harus hidup dengan kegilaannya. Untungnya, banyak juga sajak-sajak bagus lahir dari penyair yang hidup secara baik dan benar. Sebaliknya, banyak orang yang mati muda, mati secara tragis, atau gila, namun tak pernah menulis sebaris puisipun. Yang pasti, setidaknya berdasar pengalaman pribadi, ketertiban kerap tidak begitu karib dengan kreativitas.

3.
Ayat-ayat realitas bertaburan dalam diri manusia dan di sepanjang cakrawala. Dalam diri manusia ia berupa kondisi psikologis personal maupun sosial, di sepanjang cakrawala dalam bentuk lanskap fisik. Kenyataan dalam diri rumit dan sulit. Kenyataan di luar diri sederhana dan mudah. Keduanya sama indah; tak ada yang lebih rendah dari yang lain. Sajak-sajak haiku Jepang (misalnya dari para master seperti Basho, Issa, dan Buson) dan kuatrin-kuatrin Cina klasik (antara lain dari Li Po dan Wang Wei) secara efektif dan efisien mengungkap kenyataan luar ini. Bagi yang terbiasa dengan sajak-sajak modern, kedua jenis sajak tersebut nampak terlalu singkat, fragmentaris, dan sangat transparan. Meskipun singkat, sesungguhnya mereka merupakan bentuk yang utuh dan otonom. Nampak bagai fragmen, mereka meluangkan ruang bagi pembaca untuk “menulis” apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Dan transparan, karena pada dasarnya alam sekaligus adalah tanda, yang ditandai, dan makna. Dekorasi lebih jauh malah akan merusak keindahannya. Disini, pembaca tidak membangun makna melainkan menemukannya.

4.
Sejak mulanya puisi bersifat fungsional. Dalam bentuknya yang paling purba sebagai mantra, ia ditujukan untuk membujuk atau menaklukkan kekuatan-kekuatan alam dan supranatural. Selanjutnya, ia menjadi wadah ekspresi dan transmisi yang berisi sejarah (saga, epik, balada), tatanan moral dan sosial (syair, pantun, pitutur, paseng), ajaran mistis (sejumlah mistikus hindu, budha, yahudi, kristen, dan islam juga adalah penyair, atau setidak-tidaknya banyak menulis syair) dan bahkan misi politis (syair-syair medan peperangan, misalnya). Sekarang, secara sadar sebagian besar kita mengabaikan aspek tersebut dan meletakkan prioritas pada aspek rekreasional, bermain-main dengan kata. Apakah ini kemajuan atau kemunduran, entah.

5.
Siapakah penyair dan pembaca, apakah menulis dan membaca. Alih-alih sebagai peran dan proses sekuel, lebih merupakan peran dan proses paralel. Penyair pada saat bersamaan membaca dan menulis kenyataan. Ia juga memperoleh keistimewaan sebagai pembaca yang terdahulu, yang membaca dan menulis ulang sajaknya. Adapun pembaca lain juga akan datang, membaca dan menulis kembali sajak tersebut.

6.
Variasi dapat dilakukan penyair dalam tiga wilayah: teknik, tema/obyek, dan perspektif. Beberapa pelukis seperti Dullah, Rusli, dan Nashar pernah melukis obyek yang sama, dengan teknik yang sama, berkali-kali, namun kita akan selalu menemukan kebaruan dalam setiap karya. Ini tidak berarti mereka tak mampu mengembangkan diri atau meluaskan wawasan. Satu lubang sumur yang dalam jauh lebih baik dari sembilan lubang dangkal. Kebaruan? Barangkali berlebihan menuntut itu. Keharuan, mesti ada.

7.
Jangan percaya pada ‘aku’ dalam sajak. Di situ, aku bisa berarti dia, kau, kita, kami, ataupun mereka. Ada yang berpendapat bahwa aku yang eksesif adalah gejala kegagalan perkembangan seorang penyair; kalaupun mau meng-aku, aku itu haruslah aku yang impersonal atau dramatik misalnya. T.S Eliot memang banyak menulis sajak-sajak yang bagus, namun dari Kenneth Rexroth kita bisa membaca banyak sajak-sajak yang indah. Yang menjadi masalah apabila aku personal itu hadir sembari menutup rapat-rapat dirinya dari tafsir dan keterlibatan pembaca, misalnya dengan merujuk pada momen atau sentimen yang terlalu spesifik (terlebih lagi bila disajikan secara rumit). Aku yang demikian kontradiktif: ia hadir dalam sajak di ruang publik namun pelit dan pelik (tanpa mampu ‘menarik ingin’, meminjam kata Amir Hamzah). Seperti pelacur yang terlalu pemalu. Sebaiknya ia pulang ke kamar dan mengunci diri dalam diari saja.

8.
Adalah berisiko berbicara faktualitas dan personalitas dalam sajak. Seorang penyair menulis sajak pedih tentang cinta justru ketika ia sedang dalam hubungan asmara yang mesra. Sebaliknya, justru dalam keadaan terpuruk sendiri, ia menulis sajak riang bahagia. Saat ia berkubang di lembah lumpur, lahir sajak-sajak luhur dan mistis; saat berada pada puncak spiritualitasnya, ditulisnya sajak-sajak banal tentang percintaan yang garang. Ia merampok pengalaman orang lain; ia menyerahkan kisahnya pada punggung tokoh lain. Ia mereduksi dan juga mendekorasi. Ia menukil secuil dari tubuh pengalaman lalu menambahinya dengan bualan. Yang aman, alamilah setiap sajak sebagai alam kecil yang lain yang hanya memiliki konsistensi dan koherensi internal.

9.
Pembaca berhak menggunakan alternatif-alternatif cara baca dan cara pandang untuk menangkap pesan atau kesan dari sajak yang dibacanya. Pendekatannya mungkin menghasilkan beberapa makna atau suasana yang tidak saling menegasikan. Lantas, bagaimana dengan ekspresi penyair sendiri? Tidakkah cara demikian bersifat destruktif dan subversif terhadap puisi penyairnya? Menurut saya sebagai pembaca, pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah relevan karena mengasumsikan bahwa 1) penyair ingin menyampaikan sesuatu yang definitif, 2) sesuatu itu disampaikan dengan cara aneh, berbeda, dan mengaburkan, serta 3) kewajiban pembaca sajak memecahkan kode dan menebak maksud penyair. Paradigma membaca sajak demikian adalah membelenggu dan sekaligus mengerdilkan peran pembaca sajak (dan yang menyedihkan, cara pandang demikian ditetapkan sebagai metode apresiasi sastra yang baku dalam pendidikan sekolah kita) sementara tidak sedikit pembaca yang lebih puitik dan cerdas dari penyair. “Perlu ada dua orang untuk berdansa” demikian kata pepatah. Sajak yang indah menanti pembaca yang lincah pula. Tanpa salah satunya, maka tindakan apresiasi hanyalah bertepuk sebelah tangan.

10.
Setelah sajak tercipta dan diumumkan kepada khalayak maka sajak menjadi otonom dari penyairnya. Satu-satunya batas bagi kemungkinan makna sajak adalah logika-logika bahasa yang terjalin dari konstelasi tanda-tanda di dalam sajak itu sendiri. Tak ada makna-yang-termaksud (dan kalaupun pada mulanya memang ada, maka ia kemudian menjadi tidak penting dan tidak relevan lagi). Yang ada hanyalah makna-yang-terwujud yang lahir dari pertemuan antara sajak itu dengan pembaca beserta biografi, referensi, dan kamus yang dimilikinya. Kalaupun makna-yang-terwujud ini kemudian dinisbahkan sebagai makna-yang-termaksud dari penyairnya, maka penyair tidak berhak untuk bersungut-sungut dan menyalahkan keterbatasan apresiasi pembaca. Disinilah dituntut kebesaran hati si penyair. Jika ia tidak ikhlas, maka lebih baik ia menulis surat maklumat saja agar dapat memastikan kesejajaran antara makna yang ia ungkap dengan makna yang ditangkap oleh pembaca. Ini letak perbedaan antara interpretasi dan apresiasi. Dalam interpretasi kita hanya berurusan dengan sajak itu sendiri. Apresiasi berarti menemukan keunggulan ataupun kegagalan sajak dan menelusuri penyebabnya. Lebih jauh lagi, sajak itu dapat dikaitkan dengan sajak-sajak yang lain dari penyair yang sama ataupun yang berbeda. Atau bahkan menentukan posisi penyair tertentu pada generasinya dan kaitannya dengan para pendahulunya serta mempelajari latar psikologis, linguistik, dan sosiologisnya.

11.
Ada empat penyebab suatu sajak dianggap kabur: emosi atau rasio yang melatarinya masih mentah, penguasaan teknik yang rendah, tak selarasnya refrensi pembaca dengan ekpresi puitik, dan kompleksitas sajak tersebut memang tinggi atau bahkan memang dibuat tidak untuk dipahami melainkan untuk dialami. Dua yang pertama bersumber dari kegagalan penyair, dua yang terakhir dari kesalahan pembaca. Penyair harus berlatih lagi sedangkan pembaca mesti mengganti strategi membacanya. Penyair gemar hilir mudik melintasi wilayah perbatasan, antara main-main dan disiplin, antara kebetulan dan perencanaan, antara tendens dan nonsens, antara faham dan kelam, antara natural dan artifisial, antara ini dan itu, antara ya dan bukan.

12.
Ketaksaan makna tidak berarti banyak tanpa diletakkan dalam konteks koherensi dan konsistensi. Apabila ketaksaan kata, frasa, larik, ataupun fragmen tidak memberikan kontribusi berarti bagi tafsir atau arah rasa keseluruhan sajak, ia merupakan kecelakaan atau bahkan kegagalan teknis semata.

13.
Setidaknya ada tiga lapisan keindahan sajak. Yang tergurat, adalah kenikmatan dari tata letak dan permainan rima serta irama. Yang tersurat, adalah kenikmatan dari deskripsi, imaji, dramatik, ataupun argumentasinya. Yang tersirat, kenikmatan transendental yang bersumber dari dasar kedalaman simbol-simbol sajak itu sendiri. Sajak-sajak konkrit dan dadais berada pada level pertama (lihat beberapa sajak Sutardji Calzoum Bahri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Djabbar). Sajak-sajak realis maupun surealis berada pada level kedua (baca karya Chairil Anwar, W.S Rendra, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, dan Afrizal Malna, misalnya). Adapun level ketiga bisa ditemukan contohnya pada sejumlah sajak Sapardi Djoko Damono. Ketiga keindahan di atas tidaklah bersifat hirarkis namun sungguh ideal bila ketiga lapisan keindahan tersebut hadir bersamaan dan seirama dalam satu sajak.

14.
Sekilas gagasan, sepenggal nada, selarik irama, sebayang kenangan, selembar gambaran, merupakan benih puisi. Seberkas cahaya matahari, selintas wangi parfum, ataupun sekelebat wajah telah cukup untuk memicunya tumbuh menjadi pohon besar, rindang dan berbuah dalam seketika. Latar pekarangannya dikarang kemudian.

15.
Saya baru menulis sajak tentang adegan kenangan masa kecil, lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sebelumnya ia selalu datang berkunjung, mungkin minta dilahirkan dalam sajak meski secara bersahaja saja. Setelah selesai kutuliskan, semoga ia kini dapat beristirahat dengan tenang di alamnya.

16.
Kemarin saya menulis sajak yang akhirnya kuhapus karena tidak puas dengan kandungan maupun bentuknya. Tetapi bayangan rima dan iramanya terus menghantu hingga bangun pagi tadi. Akhirnya, kembali kutuliskan ia.

17.
Sajak lirik sebaiknya pendek saja. Seperti fajar dan senja serta mekarnya bunga dan bianglala. Menyehatkan bagi penyair dan pembaca. Penyair tidak terpancing untuk terlalu melebar dan berlarat-larat; pembaca juga tidak mual dibuatnya. Menulis dan membaca sajak lirik sangat menyedot energi mental. Bila ingin menulis sajak berlembar-lembar, tuliskanlah ia dalam bentuk dramatik, dengan monolog, dialog, dan deskripsi. Dalam monolog dan dialog, perhatikan retorika dan logika; dalam deskripsi, lirika.

18.
Proses kreatif tak ubahnya kegiatan berkebun. Dibutuhkan lahan yang bagus, benih yang kuat, iklim yang sesuai, tangan yang telaten, dan juga peruntungan, untuk menumbuhkan pohon dan memanen buahnya.

19.
Terkadang penyair terpaksa menggunakan frasa yang sebenarnya telah digunakan lebih dulu oleh penyair sebelumnya. Ini bisa terjadi secara kebetulan saja, bila si penyair memang belum pernah membaca sajak yang mendahului itu. Barangkali ada semacam universalitas penyair dalam penangkapan dan pengungkapannya terhadap obyek puitik tertentu. Atau bisa saja, frasa dalam sajak terdahulu yang pernah ia baca begitu berkesan baginya dan mengendap di bawah sadarnya hingga sekian lama. Dari sudut penyair, pertimbangan yang bisa diambil sebagai patokan: apakah frasa itu lahir secara spontan, memang terletak pada tempat yang tepat atau wajar (memiliki benang merah dengan frasa/larik sebelum dan sesudahnya, tidak nampak dipaksakan), dan kesan atau pesan dari keseluruhan tubuh sajaknya memang berbeda dengan karya yang lebih awal itu. Apabila ketiganya terpenuhi maka otentisitas tidaklah menjadi masalah dalam kasusnya.

20.
Wilayah kreasi merupakan kerajaan-pulau milik penyair. Publikasi karya merupakan benua lain yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi negara, selera masyarakat, kecerdasan editor atau redaktur, takdir, studi kelayakan bisnis, kantung penulis, teknologi, peruntungan, politik sastra, jaringan, dan sebagainya, dan sebagainya.

21.
Penyair tidak begitu membutuhkan tepuk tangan publik ataupun pujian kritikus. Ketika seorang pembaca dengan agak malu-malu datang mendekati dan berkata kepadanya dengan suara bergetar betapa si penyair telah mengatakan apa yang dirasakan pembaca secara bukan main mengesankan, barulah penyair boleh merasa berhasil dalam karirnya.

22.
Apakah yang diperoleh penyair dari ‘profesi’ menulis puisi? Ketenaran dan kehartawanan nampaknya bukan. Belum pernah ada penyair yang dieluelukan dan diburu-buru penggemarnya, paling tidak seperti yang dialami sepupunya, para novelis. Emily Dickinson selama hidupnya hanya mempublikasikan beberapa puisi; ratusan puisi lain yang ia tulis nanti ditemukan dan dihargai justru setelah kematiannya. Penyair sekaliber Sapardi dan Auden contohnya juga, mengakui bahwa penerimaan uang dari menulis sajak jauh lebih kecil dari pengeluaran untuk membiayai minatnya pada puisi dan penghasilan dari menulis sebiji artikel yang dihasilkannya sekali duduk dengan santai malah lebih menggembirakan dari honor yang ia terima untuk beberapa buah puisi yang dituliskannya selama berbulan-bulan dengan susah payah. Merenungkan ‘karir’ penulisan selama dua puluh tahun lebih, imbalan yang saya terima hanya dua. Pertama: kepuasan profesional berupa pengakuan-inisiasif dari seorang penyair yang lebih senior dan saya kagumi dalam bentuk tertulis, pergaulan kreatif yang menyenangkan serta menyehatkan dengan kolega penyair segenerasi, dan pujian personal dari pembaca perorangan. Kedua: pertumbuhan jiwa; disiplin puisi, langsung maupun tidak langsung, telah mempengaruhi pandangan saya kepada Tuhan, sesama ciptaan, dan kehidupan dunia. Hanya dua imbalan ini, namun telah cukup menjadi alasan untuk terus menulis dan membaca puisi.

23.
Salah satu gejala bahwa penulis telah total memfokuskan diri pada penulisan karya, ia akan merasakan disergap kekosongan yang betul-betul kedap pada jiwanya dan rasa lelah yang indah pada raganya setelah menulis sajaknya. Terbaring rebah seakan lumpuh, seolah sehelai ruhnya telah ditarik perlahan dari badan dengan seutas rambut yang begitu lembut, lalu terjatuh lelap dalam pulas meskipun sekilas saja.

24.
Ada vonis bahwa menulis sajak didaktik akan merendahkan diri penyairnya. Anggapan ini mungkin bersumber dari kurangnya pengetahuan sejarah sastra atau sempitnya wawasan selera artistik. Tetapi lepas dari penyebabnya, ada tiga kesalahan dalam proposisi logis dari klaim ini: mengumpamakan bahwa sajak didaktik adalah sajak rendah, bahwa ada paralelisme antara kualitas sajak dengan integritas personal penulisnya, dan bahwa penyair masih ambil peduli dengan posisi tertentu yang mungkin hanya ada dalam imajinasi orang yang menisbahkannya.

25.
Generalisasi awam terhadap puisi adalah bahwa ia merupakan ekspresi emosi individu penyairnya. Kadang begitu saja dipercaya sebuah sajak yang bernada murung tentulah ditulis pula oleh penyairnya dalam suasana jiwa yang suram. Akibatnya, sajak hanya diidentikkan dengan lirisisme ekstrim: kesepian, kesangsian, keluh kesah, kemuraman, dan obyek-obyek romantis. Tak bisa disalahkan juga munculnya klise ini. Di masa remaja saat di sekolah menengah, cara termudah, tidak melanggar aturan, dan murah untuk mencurahkan perasaan sebagai pilihan lain dari coretan di tembok wc umum dan traktiran adalah menulis sajak. Selain itu, instruksi guru bahasa dalam pelajaran apresiasi sastra juga sederhana: ‘tulislah sajak empat bait yang isinya menggambarkan perasaanmu tentang…’ atau ‘coba uraikan apa yang diekspresikan penyair dalam sajak…’. Sesungguhnya, pengalaman individu kebanyakan penyair terlalu sedikit, miskin, dan tidak menarik untuk diangkat dalam suatu karya yang akan dinikmati dan diapresiasi oleh orang lain. Dengan bekal kemampuan empati, keterampilan teknis, dan peralatan bahasa, penyair yang kebetulan hidupnya datar-datar saja itu mampu meminjam emosi orang lain dan memolesnya sehingga tampil lebih murni dan fasih dalam sebuah puisi. Pembaca juga membaca sajak bukan karena ingin tahu sedikit banyak tentang pribadi penyair melainkan karena ingin mengenali kembali pengalamannya sendiri dalam baris-baris sajak yang dituliskan penyair.

26.
Mungkin saja penyair memang terkadang menggali ilham dari pengalamannya sendiri. Tetapi ini tidak ada hubungan dan manfaatnya dengan pembaca. Di hadapan sajak, pembaca adalah raja yang kesepian: tanpa pengarang yang mendampingi menguraikan alasan dan tujuan pemilihan kata, tanpa kamus yang merumuskan makna, tanpa kritikus yang menunjuk arah, tanpa kitab sejarah yang merangkum riwayat sastra. Ia sendirilah dengan bekal kemampuan yang telah ada dalam dirinya, menjadi pengarang, kamus, kritikus, kitab sejarah. Berhadapan muka dengan muka, bertatapan mata dengan mata, dengan kata. Dapat terjadi untuk memahami simbolisasi suatu sajak yang penuh dengan catatan kaki dan alusi dengan teks lain, dibutuhkan penguasaan perangkat analitik tertentu, pemahaman sosio historis suku bangsa dan kurun masa tertentu, ataupun pengetahuan tentang doktrin metafisis tertentu. Sebaiknya, dengan ataupun tanpa itu semua, sajak tersebut tetap terbuka untuk pemaknaan, meskipun dengan risiko perbedaan tafsir misalnya. Jika tidak, ia hanyalah dokumen internal yang ditulis dalam kode sandi tertentu atau semata sajak rumit yang gagal untuk (sekaligus menjadi) sederhana. Sajak yang fasih dan murni akan cukup dengan dan di dalam dirinya sendiri untuk diapresiasi. Perbedaan pemahaman bergantung sejauh mana kemauan pembaca mengalami sajak itu, seberapa dalam ia mampu menyelaminya.

27.
Sajak yang sempurna, terbuka bagai cermin kaca. Sebisanya menampung makna apa saja, dari siapa saja; sederhana dan rumit bersama-sama. Ia mungkin nampak begitu personal, namun ‘aku’ yang ada padanya adalah Aku Kolektif yang primordial dan universal sehingga setiap pembaca yang datang padanya akan langsung mengenalnya dan lantas merasa paling berhak untuk mengakui ‘aku’ di sajak itu sebagai ‘aku’-nya sendiri.

28.
“Saya menyukai sajak Bapak yang tentang anu itu. Indah dan mudah dicerna” Perempuan berkulit gading itu, dengan mata tak begitu sipit lagi, dan rambut panjang sebahu diikat ekor kuda satu yang sederhana, mengucapkannya dalam nada rendah namun tempo cepat. Seperti ingin menyelesaikan kalimat itu sesegera mungkin dan sekaligus seakan ingin menelan kembali pengakuan yang seolah disesalinya telah terlontar itu. Saya tertegun; bukan hanya karena perempuan itu begitu menarik dalam kesahajaannya melainkan juga karena saya tak menduga kalimat itu akan mengalir dari sepasang bibirnya yang pucat tanpa polesan warna. Dia bukan tipe perempuan yang menyukai sajak—setidaknya begitulah menurut stereotip saya. Lulusan terbaik di antara teman seangkatannya, karyawati sebuah bank swasta, dan jenis anak yang baik lagi tertib. Padahal, saya sering membayangkan sajak-sajak saya akan dibaca oleh seorang pengelamun dan pengeluyur yang susah diatur, seperti saya; seorang yang selalu pasang tampang serius dan prihatin, agak seperti saya; seseorang yang berbakat filsuf atau estetikus dan yang menikmati perburuan kata dan pergumulan makna, yang barangkali seperti saya. Pendeknya, seseorang yang hampir merupakan proyeksi sempurna diri saya sendiri. Hmm, apakah saya harus memberitahunya bahwa ada bentuk yang adiluhung dari sajak dan ia harus menyelaraskan seleranya serta belajar untuk mencerna sajak agung itu. Ataukah saya yang harus mengabdi: menuliskan sajak-sajak yang dapat tetap ia baca dan letakkan di salah satu sudut meja kerjanya, dekat dalam jangkauan tangannya, yang bisa menemaninya seakrab mungkin di saat ia hanya ingin mencuri waktu istirahat?

29.
Permainan rima dan irama, kesegaran frasa, imaji menakjubkan, suasana yang kuat memesona, pesan yang menggugah berdaya, hikmah yang indah bermakna: salah satu atau beberapa dari aspek ini jika bisa hadir dengan mencekam, telahlah cukup untuk membuat suatu sajak dianggap berhasil menggenapi takdirnya.

30.
Ada penyair yang berambisi merambah batas bahasa, ada yang berpuas diri mengolah yang ada. Keduanya berguna: yang satu memberi kebaruan, yang lain menggali kedalaman.

31.
Teknologi jaringan internet dan buku digital memungkinkan kita mempertanyakan makna dan fungsi dari keberadaan penerbit dan editor-cum-kritikus profesional, khususnya dalam wilayah publikasi puisi. Keberadaan makelar dan benalu ini berpotensi menjadi kendala yang tak perlu ada dalam interaksi penyair-pembaca. Penerbit dengan studi kelayakan proyeknya dan kritikus denga uji kelayakan sastrawinya seringkali malah berpolah laku lucu. Tetapi ini akan membuat dunia sastra dipenuhi sampah, begitu mungkin sergah anda. Ya, tetapi sebagai pembaca saya lebih suka mengunyah sampah yang saya pilih sendiri daripada harus menelan sampah yang dipilih dan disumpalkan oleh orang yang tidak saya kenal yang merasa begitu percaya diri untuk menganggap dirinya lebih cerdas dan berwawasan dari penulis dan pembaca sajak lainnya. Lagi pula proses memilah milih antara sampah, rombengan, loyang, emas dan berlian itulah yang justru lebih bermanfaat untuk kesehatan intelektual dan mental saya sendiri. Keberadaan penerbit menuntut puisi diperlakukan sebagai komoditas yang bernilai ekonomis murni, karenanya lalu ada harga produksi, biaya distribusi dan promosi serta harga jual. Harga ini lalu menjadi penentu siapa yang bisa membeli dan memiliki sajak-sajak. Buku seharga Rp 50.000 misalnya, jelas mengumumkan bahwa mereka yang hanya memiliki Rp 49.975 dalam kantongnya belumlah layak memperoleh hak masuk ke karya-karya dalam buku dimaksud. Begitu pula dengan cakupan jaringan distribusi yang kadang terbatas pada rantai toko buku atau kota tertentu saja. Sementara menulis puisi tidaklah melibatkan ongkos finansial yang berarti dan jaringan internet memungkinkan suatu karya diakses oleh pembaca dalam jumlah lebih besar dan dari wilayah geografis lebih luas. Lagi pula, sejak dahulu dan di negara manapun, nyaris mustahil penyair hidup dari royalti yang tak setimpal itu. Fungsi seleksi ini selanjutnya (sebagaimana memang seharusnya) diambil alih dan dijalankan kembali oleh penulis dan pembaca sendiri. Lantas apa yang harus dilakukan penerbit dan editor-cum-kritikus profesional? Arahan saya, mereka sebaiknya berkonsentrasi pada proyek-proyek yang memang memiliki prospek komersial, seperti karya novel atau lukisan. Mereka juga bisa berlatih untuk menjadi penulis sajak yang baik dan benar atau memosisikan diri sebagai pembaca yang lebih rendah hati.

32.
Dalam usia 32, akhirnya terlaksana sudah cita-cita menulis hingga seribu sajak. Ini tentu bukan ihwal luar biasa meskipun juga tidaklah semudah asal bersiul. Secara kualitatif, dari 1000 sajak itu barangkali tidak lebih dari seperlima sajak saja yang memenuhi kriteria ‘enak dibaca’ dan (apa lagi) ‘perlu’. Secara kuantitatif, penyair lain seperti Kurnia Effendi dan Hasan Aspahani juga telah menuntaskannya terlebih dulu. Jadi ini tidak lebih dari pemenuhan tantangan dan ambisi pribadi saja. Para penyair klasik dari Persia dan Cina malahan menulis karya hingga belasan ribu semasa hidup mereka. Beberapa penyair yang saya tahu, memang kejam dan pelit terhadap karya sendiri: Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan Aslan Abidin. Mereka sangat selektif terhadap obyek, tema, maupun teknik yang dipakai (tentu dengan tidak memperhitungkan saat-saat mereka mengalami masa mandul, disergap rasa malas, disibukkan rutinitas lain, atau sekedar cuti dari predikat ‘penyair’). Tetapi ada untungnya juga ternyata: karena menulis 1000 sajak maka setidaknya ada 200 sajak saya yang lumayan; jika hanya menulis 100 sajak barangkali hanya 20 sajak yang tetap menarik untuk dibaca berulang. Kenapa tidak membuang yang 800 sisanya itu? Seperti pecinta yang gila, saya mungkin kurang bertanggung jawab tetapi tetap tidak tega juga untuk melenyapkan anak-anak sendiri, apalagi jika mesti dengan tangan sendiri.